BATAM - Pemberian hibah senilai Rp16,5 miliar dari Pemerintah Kota (Pemko) Batam kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam menuai kritik. Ketua Kelompok Diskusi Anti 86 (Kodat86) Cak Ta’in Komari, SS menuding hibah tersebut sebagai upaya melemahkan independensi penegak hukum dalam mengusut dugaan korupsi di Batam.
Hibah Dinilai Ancam Integritas Kejaksaan
Cak Ta’in menyatakan, pemberian hibah dari pemerintah daerah berpotensi menggerogoti profesionalisme Kejari Batam. Menurutnya, lembaga penegak hukum seharusnya bersikap netral dan tidak terpengaruh bantuan finansial dari pihak eksternal.
"Faktanya, Batam terkesan bebas korupsi, tetapi sepi pengusutan. Apakah tidak ada korupsi? Rasanya tidak mungkin. Hanya aparat penegak hukum (APH) yang enggan memproses," ujarnya kepada media, Senin (28/7).
Ia menegaskan, sebagai institusi vertikal, kebutuhan operasional Kejari seharusnya diajukan ke Kejaksaan Agung (Kejagung), bukan pemerintah daerah. "Hibah seperti ini menciptakan dilema saat harus mengusut kasus korupsi, terutama yang melibatkan pejabat tinggi," tegasnya.
Transparansi Hibah Dipertanyakan?
Cak Ta’in mempertanyakan alokasi dana hibah sebesar Rp16,5 miliar tersebut. Dari pantauan, hanya terlihat pembangunan gedung baru di depan kantor Kejari Batam dengan estimasi biaya Rp1-1,5 miliar.
"Kejari Batam harusnya mendapat anggaran dari pusat. Kami akan minta klarifikasi ke Kejagung dan Komisi III DPR RI apakah praktik hibah seperti ini dibenarkan," paparnya.
Pemko Dinilai Salah Prioritas
Mantan dosen Unrika Batam itu menyayangkan alokasi dana besar untuk Kejari sementara persoalan publik seperti sampah, banjir, air bersih, kemacetan, dan UMKM masih belum tertangani maksimal.
"Pemko harusnya paham skala prioritas. Masyarakat butuh solusi konkret, bukan hibah yang berpotensi merusak integritas penegak hukum," tandasnya.
Editor Don
Tidak ada komentar:
Posting Komentar