Untuk Selamatkan Jutaan Buruh, Rieke Tawarkan Usulan Buat Presiden RI "Jokowi" - BURUH TODAY

Breaking

BURUH TODAY

www.buruhtoday.com


Post Top Ad

Rabu, 19 November 2014

Untuk Selamatkan Jutaan Buruh, Rieke Tawarkan Usulan Buat Presiden RI "Jokowi"

Jakarta,Buruhtoday.com - Terkait keputusan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menaikkan harga BBM, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, menyatakan dirinya selalu mengingat pengalaman ketika kenaikan harga BBM di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 dan 2008. Pada saat itu, jumlah warga miskin selalu bertambah besar dan terkesan kuat bahwa keputusan itu hanya menguntungkan segelintir pihak.

Oleh karena itu, Rieke menawarkan sejumlah langkah yang bisa diambil Jokowi-JK agar pengalaman serupa tak terjadi lagi.

Kata Rieke, realokasi subsidi BBM menimbulkan efek domino kenaikan harga jual BBM ke rakyat, membuat ongkos transportasi naik, dan kenaikan harga kebutuhan pokok. BI mengatakan kenaikan Rp 1.000 perliter akan menyebabkan inflasi 1,2 persen. Ini berarti kenaikan bensin yang Rp 2.000 perliter menyebabkan inflasi naik 2,4 persen.

"Dengan inflasi 2,4 persen, artinya keluarga yang punya kebutuhan Rp 100.000 per bulan harus ada tambahan agar menjadi Rp 200.000 per bulan," kata Rieke di Jakarta, Selasa (18/11).

Beban itu masih bertambah. Sebab menurut data BPS, 2,4 persen adalah inflasi langsung. Ada juga efek inflasi tidak langsung sebesar 1 persen sampai 1,2 persen. Artinya, potensi total inflasi bisa mencapai 4,8 persen yang berarti kebutuhan Rp 100.000 perbulan sebelum kenaikan BBM menjadi Rp 300.000 ketika BBM naik.

Sementara pemerintah menyiapkan tambahan penghasilan Rp 200.000 per bulan lewat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) untuk 15,5 juta rumah tangga miskin. Masalahnya, kata Rieke, masih ada jutaan rakyat lain yang terkena dampak yang juga membutuhkan uluran tangan kebijakan pemerintah yang tidak termasuk kelompok RTM.

Mengambil contoh data Satkernas BPS 2013, ada pekerja formal sebanyak 46,6 juta orang dan pekerja informal sebanyak 67,5 juta. Baginya, Pemerintah tidak hanya bertanggung jawab memberikan solusi bagi 15,5 juta.

"Jutaan rumah tangga rakyat lainnya juga membutuhkan bantuan pemerintah, terutama dalam menghadapi kenaikan kebutuhan pokok. Diharapkan pemerintah segera mengeluarkan kebijakan politik paling tidak untuk sampai akhir 2014," jelasnya.

Karena itu, dia mendesak pemerintah segera mengeluarkan kebijakan politik untuk menurunkan harga pangan.

"Berikan suport dana dari hulu ke hilir bagi mereka yang bergerak dalam penyediaan pangan rakyat, seperti bantuan bagi kendaraan pengangkut pangan. Kebijakan politik harga ini dibarengi dengan pemberantasan mafia pangan," kata Rieke.

Kedua, adanya kebijakan politik industri dan perdagangan. Perlu kiranya segera dikeluarkan kebijakan untuk melindungi industri nasional, khususnya yang padat karya seperti tekstil, garmen, dan sepatu, yang komponen produksinya terbesar adalah energi dan upah.

"Jangan sampai solusi efisiensi adalah PHK karyawan. Mohon segera ada kebijakan seperti insentif pajak impor bahan baku, dan lain-lain. Kebijakan politik ini harus disertai dengan pemberantasan mafia dalam jalur industri, seperti mafia perizinan dan praktek pungli di semua lini," ujarnya.

Ketiga adalah kebijakan politik upah, di mana puluhan juta rumah tangga pekerja yang tidak termasuk dalam kategori rumah tangga tak mampu memerlukan iktikad politik pemerintah. Menurutnya, pemerintah harus berani untuk tidak melanjutkan "politik upah murah" peninggalan pemerintah lalu.

"Mereka juga membutuhkan tambahan penghasilan untuk menyiasati membengkaknya ongkos hidup sebagai dampak kenaikan BBM," ujarnya.

Saat ini proses pembahasan kenaikan upah sedang dibahas di Dewan Pengupahan di kota/kabupaten di seluruh Indonesia, yang paling lambat harus ditetapkan oleh gubernur pada 21 November 2014.

"Memohon agar pemerintah pusat ikut mendorong lahirnya upah layak bagi pekerja, salah satunya dengan mencabut ketentuan pada Inpres No.9/2013 terkait upah minimum didasarkan pada pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Kata Rieke, rata-rata pertumbuhan ekonomi adalah 5,1 - 5,3 persen pada kuartal I tahun 2014. Karenanya, jangan sampai persentase kenaikan upah dipaksakan sama dengan persentase pertumbuhan ekonomi itu. Artinya, kenaikan BBM Rp 2.000 per liter atau naik sekitar 30 persen juga menjadi acuan.

"Kenaikan upah harus berdasarkan survei pasar terhadap kebutuhan pokok dan komponen hidup layak yang juga terimbas kenaikan BBM," ujarnya.

Langkah Keempat, pengalihan dana subsdi BBM kepada program lain kiranya harus diawasi semua pihak agar tidak menjadi "bancakan pemburu rente".

"Tidak boleh terulang lagi pengurangan subsidi BBM dan kompensasi kenaikan BBM justru berarti meningkatnya jumlah rakyat miskin seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2008," kata dia.

(sumber Beritasatu.com)