BATAM – Sebuah ironi pahit kembali terjadi di Kota Batam. Puluhan kepala keluarga, terdiri dari petani sayur dan pembudidaya ikan air tawar di Sei Temiang, Tanjung Riau, kini hidup dalam ketakutan. Nasib mereka digantungkan oleh kebijakan BP Batam yang diduga lebih memihak pengusaha properti ketimbang rakyat kecil yang telah menghidupi lahan itu selama lebih dari 20 tahun.
Bukan Penduduk Liar, Tapi Diusir Demi Properti?
Kisahnya berawal dari tahun 2001. Pak Ray, salah satu pembudidaya, dengan lirih menceritakan, mereka bukan pendatang liar. "Kami dipindahkan secara resmi oleh BP Batam dari Dam Duriangkang ke sini. Saat itu, lahan ini masih hutan ilalang. Kami yang bersusah payah membukanya hingga jadi produktif," ujarnya.
Kini, setelah dua dekade membangun kehidupan dan turut menyokong ketahanan pangan Batam, mereka mendadak mendapat ancaman penggusuran. Lahan yang mereka cintai itu, ternyata telah dialokasikan dengan cepatnya kepada dua pengembang: PT Rejeki Tiga Bersaudara dan PT Seribu Samosir Abadi.
18 Hari vs 20 Tahun: Perlakukan Beda yang Menyakitkan
Yang memantik amarah, adalah kecepatan super proses perizinan untuk pengembang. Pengajuan dilakukan pada 13 Desember 2023, dan Penetapan Lokasi (PL) sudah keluar pada 1 Januari 2024. Hanya 18 hari kerja! Sebuah proses yang bak karpet merah bagi pemodal.
Sementara itu, warga yang sudah puluhan tahun berjuang justru diperlakukan sebaliknya. Permohonan pembayaran UWTO (Unimproved Land Value) mereka telah DITOLAK hingga 3 kali oleh BP Batam dengan alasan yang berbeda-beda. "Ini jelas ketidakadilan. Kami yang membangun, kami yang diusir. Mereka yang punya modal, dapat segalanya dengan mudah," ucap seorang warga dengan nada kesal.
Pertemuan dengan Pejabat Buntut, Warga Semakin Bingung
Harapan akan kejelasan pupus ketika para petani dan pembudidaya bertemu dengan Direktur Lahan BP Batam, Ilham. Alih-alih memberikan solusi dan kepastian, pertemuan itu justru membuat suasana semakin keruh. Tidak ada jawaban konkret yang diberikan mengenai masa depan mereka. Hanya janji dan basa-basi yang semakin menguatkan kesan bahwa suara rakyat kecil tak lagi didengar.
Melawan lewat Hukum: "Kami Siap Berjuang!"
Merasa diperlakukan semena-mena, warga akhirnya mengambil langkah tegas dengan menempuh jalur hukum. Kuasa hukum mereka, Bali Dalo, SH., dengan tegas menyatakan bahwa surat guguran yang diterima warga adalah salah alamat dan tidak prosedural.
"Kami akan melawan setiap upaya penggusuran paksa. Ini adalah perampasan hak masyarakat yang telah berkontribusi puluhan tahun. BP Batam harus bertanggung jawab!" tegas Bali Dalo.
Sampai detik ini, pihak BP Batam belum memberikan pernyataan resmi dan jelas yang dapat meredakan kegelisahan warga. Sementara itu, para petani dan pembudidaya itu hanya bisa pasrah, menunggu nasib yang menentukan hidup mati usaha mereka.
Sumber berita Cyberkriminal.id


Tidak ada komentar:
Posting Komentar