Untuk Selamatkan UMK, Pengusaha Minta Omnibus Law Hapus Upah Minimu - BURUH TODAY

Breaking

BURUH TODAY

www.buruhtoday.com


Post Top Ad

Selasa, 16 Juni 2020

Untuk Selamatkan UMK, Pengusaha Minta Omnibus Law Hapus Upah Minimu


JAKARTA - Pengusaha meminta pemerintah untuk dapat kembali membuka pembahasan kluster tenaga kerja dalam Omnibus Law. 

Menurut Managing Director Institute of Developing Economies and Entrepreneurship (IDEE) Sutrisno Iwantono kluster tersebut penting untuk segera dibahas sebab dianggap mampu menjadi pertahanan bagi banyak pelaku usaha di Indonesia di tengah pandemi COVID-19 ini.

"Kluster ini kiranya perlu segera mendapat perhatian khusus, karena ini menyangkut survival ekonomi kita yang porak poranda akibat wabah COVID-19. Khususnya hal-hal yang berkaitan dengan usaha mikro dan kecil (UMK)," ujar Managing Director Institute of Developing Economies and Entrepreneurship (IDEE) Sutrisno Iwantono dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Senin (15/6/2020).

Salah satu topik penting yang perlu segera dibahas dari kluster tersebut, menurut Sutrisno adalah terkait upah minimum regional (UMR). Menurutnya, Omnibus Law harus menghapuskan kewajiban UMR bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

Lantaran, UMK yang beromzet rata-rata Rp 50 juta per tahun ini dianggap sebagai pelaku usaha yang paling banyak menampung tenaga kerja di Indonesia. Bila UMK diwajibkan membayar upah pekerja sebesar UMR maka bisa dipastikan banyak UMK yang gulung tikar dan akhirnya dapat meningkatkan pengangguran di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, UMK menjadi penyumbang terbesar lapangan kerja di Indonesia. Dari total angkatan kerja pada 2018 yang sebanyak 116.978.631 orang, 94% di antaranya atau kurang lebih 113.207.796 tenaga kerja diserap oleh UKM. Sedangkan usaha menengah hanya sekitar 3.770.835 tenaga kerja dan usaha besar 3.619.507 orang atau masing-masing hanya menyerap sekitar 3% dari total tenaga kerja RI.

Sedangkan, rata-rata tingkat upah dilapangan sekitar Rp 2-2,5 juta per orang per bulan. Sedang rata-rata upah minimum menurut Kepala BKPM Bahlil sekitar Rp. 3,93 juta per orang per bulan.

Apalagi di kondisi COVID-19 ini, Sutrisno berharap UMK harusnya tidak membayar pekerjanya sebesar upah minimum.

"Dengan kondisi ini tidak memungkinkan usaha mikro dan kecil diharuskan membayar upah minimum. Apabila dipaksakan akan terjadi kebangkrutan massal bagi usaha mikro dan kecil, artinya akan terjadi pengangguran massal karena 94% tenaga kerja memang berada di usaha mikro dan kecil. Karena itu untuk usaha mikro dan kecil harus dikecualikan dari ketentuan UMR," imbuhnya.

Menurut Sutrisno, UMR di Indonedia terlalu besar bila dibandingkan dengan negara tetangga. Untuk itu, UMK tak mungkin mengikuti rata-rata UMR tersebut namun untuk usaha menengah dan besar masih memungkinkan sebab omzetnya pun cukup besar.

"Kalau usaha menengah saya rasa masih memungkinkan, karena karena besaran omzet mereka adalah sampai Rp 50 miliar. UMR kita ini memang sudah terlalu tinggi menurut Kepala BKPM rata-rata upah minimum tenaga kerja di Indonesia per bulan sebesar Rp 3,93 juta, Malaysia Rp 3,83 juta, Thailand Rp 3,19 juta, Rp 3,19 juta, dan Vietnam Rp 2,64 juta," sambungnya.

Tingginya UMR di Indonesia disebut-sebut menjadi penyebab minimnya dana investor asing yang masuk ke dalam negeri.

"Sehingga wajar jika Indonesia tidak menarik bagi investor asing, apalagi ditambah dengan tingkat kenaikan upah yang juga sangat tinggi di Indonesia mencapai 8,7% per tahun. Sementara kenaikan upah rata-rata per tahun di Filipina 5,07%, Malaysia 4,88%, Vietnam 3,64%, dan Thailand 1,8%," sambungnya.

Padahal, produktivitas tenaga kerja di Indonesia disebut tak mengalami peningkatan yang berarti. Sejak tahun 2004 sampai 2018 tidak mengalami kenaikan berarti, sementara upah naik sekitar 400%.

"Beberapa isu ini memang menjadi krusial dalam pembahasan Omnibus Law Citaker. Kluster tenaga kerja sudah waktunya untuk dibahas. Situasi ekonomi terus memburuk, untuk balik normal memerlukan upaya pemerintah yang sungguh-sungguh tepat dan berkualitas," tuturnya.

Menurutnya dengan dipercepatnya pembahasan omnibus law kluster ketenagakerjaan tersebut dapat menjadi solusi bagi masalah pengangguran akibat COVID-19 maupun sebelum adanya COVID-19 selama ini.

"Kita menghadapi pengangguran yang besar, sebelum wabah Covid 19 pengangguran terbuka adalah 7,05 juta, saat ini tentu berlipat dari itu. Usaha mikro kecil dan pendapatannya harian saat ini sangat terpuruk. Pemerintah harus memberi bantuan secara massif. Mayoritas tenaga kerja kita adanya di sector informal mencapai sekitar 70 juta orang, mereka umumnya bekerja di bawah normal atau setengah menganggur," sambungnya.

Pengangguran massal dinilainya dapat menimbulkan masalah sosial berisiko tinggi. Untuk itu, semua pihak diminta mesti bersedia berkorban untuk kepentingan yang lebih luas.

"Di sisi lain situasi perbankan juga dalam tekanan berat, ada indikasi kuat sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas yang serius. Ini sangat berisiko terutama bank-bank yang sistemik. Korbannya pasti rakyat kecil nantinya," pungkasnya.

Artikel ini telah terbit di https://m.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar