Mujiburrahman : Guru Itu Pekerja Plus - BURUH TODAY

Breaking

BURUH TODAY

www.buruhtoday.com


Post Top Ad

Senin, 23 April 2018

Mujiburrahman : Guru Itu Pekerja Plus

                                                                                  OLEH: MUJIBURRAHMAN
                                                                                  Akademisi UIN Antasari Banjarmasin

SETELAH disambut hangat dengan tarian tradisional ditingkahi tepukan terbang para siswa, saya diajak masuk ke ruang kelas oleh Sugiono, Kepala Sekolah Indonesia Jeddah.

“Bapak Mujiburrahman ini adalah Rektor UIN Antasari Banjarmasin. Ini kesempatan yang sangat baik. Jarang-jarang ada rektor mau datang ke sekolah,” katanya memperkenalkan saya kepada siswanya.

Meski rektor dan kepala sekolah itu tak jauh beda, begitulah cara Sugiono memotivasi siswanya agar mau mendengarkan ceramah saya. Saya beruntung bisa berdialog dengan para siswa Sekolah Indonesia di Jeddah dan Mekkah, masing-masing pada 15 dan 19 Maret 2018, karena didukung penuh oleh Konjen Dr Mohamad Hery Saripudin dan Pelaksana Fungsi Penerangan Sosial Budaya, Sukarno, KJRI Jeddah.

Karena merasa sama-sama sebagai pendidik dan bekerja di lembaga pendidikan, saya selalu gembira jika diundang berbicara dan berdiskusi dengan para guru dan siswa. Saya misalnya merasa tersanjung ketika diundang oleh sekolah-sekolah unggulan atau favorit di Kalsel seperti SMA Banua, Sekolah Islam Sabilal Muhtadin, Global Islamic Boarding School, MAN Insan Cendekia dan beberapa SMAN di Banjarmasin.

Namun Sekolah Indonesia Jeddah (SIJ) dan Sekolah Indonesia Mekkah (SIM) jelas memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri. SIJ dan SIM memang bukan sekolah favorit untuk orang-orang berduit, dan bukan pula sekolah unggulan khusus untuk anak-anak cerdas. Dua sekolah itu dan satu lagi di Riyadh terasa istimewa justru karena menampung anak-anak para pekerja Indonesia di Arab Saudi.

“Hidup kita ini sebagian kita pilih, dan sebagian lagi dipilihkan Tuhan. Anda tidak memilih dilahirkan di sini atau dilahirkan dari orangtua yang bekerja di sini. Namun, Anda bisa memilih untuk terus belajar mengejar cita-cita atau tidak,” kata saya memulai. “Mungkin Anda galau menatap masa depan. Saya bisa memahami karena saya juga berasal dari keluarga ‘elit’ alias ekonomi sulit,” canda saya.

Saat dibuka kesempatan berdialog, cukup banyak yang mengangkat tangan dan bertanya. Pertanyaan mereka cukup unik. Bagaimana caranya agar siswa terus bergairah membaca buku? Bagaimana agar kita terhindar dari bahaya ponsel? Apa yang membuat Bapak berhasil dalam studi? Apakah kami akan diberi kemudahan jika mendaftar kuliah di UIN Antasari? Bagaimana caranya agar bisa menjadi profesor?

Semua pertanyaan itu menunjukkan bahwa mereka menyimpan impian untuk masa depan yang diraih melalui pendidikan. “Anak-anak di sini, meskipun jam belajar sudah habis hingga menjelang Magrib, mereka masih tetap ingin berada di sekolah. Mereka merasa senang di sekolah karena banyak teman dan bisa bermain. Saya kadang harus mematikan listrik agar mereka mau pulang,” kata Sugiono.

Sugiono bercerita, pada bulan-bulan awal bertugas di Saudi, dia agak kaget dengan seringnya menerima permohonan pindah sekolah ke Indonesia dari orangtua siswa. Umumnya karena orangtuanya pulang, dipulangkan atau tertangkap. Ketetapan pajak dari pemerintah Arab Saudi perorang sebesar 200 riyal perbulan juga sangat berat. Tidak sedikit pekerja asing, termasuk dari Indonesia, yang memilih pulang.

Total siswa SIJ dari tingkat TK, SMP hingga SMA adalah 1.258 orang. Jumlah yang cukup besar. Adapun siswa SIM yang dipimpin oleh Plt. Kepala Sekolah, Sinsin Rosyidin, berjumlah 470 orang. Mereka berasal dari berbagai etnis di Indonesia. Yang mengejutkan, ketika siswa SIM saya minta, “Tolong angkat tangan para siswa yang orang Banjar.” Ternyata yang mengancungkan tangan cukup banyak!

Saya terharu mendengar kerja keras kepala sekolah dan para guru yang mendidik anak-anak itu. Saya merasa terbebas dari kritik Elizabeth Pisani bahwa banyak orang menjadi guru bukan karena ingin menjadi pendidik, tetapi karena ingin mendapatkan pekerjaan belaka. Guru bukan sekadar pekerja, tetapi pendidik yang menanamkan ilmu, keterampilan dan harapan masa depan bagi murid-muridnya.

Alhasil, di manapun kita berada, di Arab Saudi atau Indonesia, pendidik harus lebih dari sekadar pencari upah. Pendidik memiliki misi membentuk generasi yang lebih baik. Guru itu pekerja plus!

 (sumber Banjarmasinpost)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar