Kudus,Buruhtoday.com – Sekitar 10 ribu buruh pabrik rokok diperkirakan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) akan kehilangan pekerjaan karena berbagai faktor. Hal ini akan sangat berpengaruh besar pada kelaurga mereka, apabila setiap buruh yang terkena PHK tersebut merupakan tulang punggung bagi beberapa keluarganya.
Hasan Aoni Aziz selaku Sekjen Gappri mengatakan, bahwa berdasarkan data yang dimilikinya dari sejumblah perusahaan, ada sekitar 800 perusahaan pabrik rokok, namun hampir dari separuh perusahaan pabrik rokok tersebut sudah gulung tikar (hengkang).
” Dari jumblah perusahaan yang ada sekarang, ada100 perusahaan pabrik rokok membeli cukai dengan jumlah minimal untuk dapat mempertahankan izinnya,” katanya.
Sementara jumlah perusahaan rokok yang aktif berproduksi diperkirakan
hanya mencapai 50 pelaku usaha saja di Indonesia saat ini. Dia
memperkirakan jumlah tersebut akan semakin berkurang hingga akhirnya
hanya akan bertahan pada ”sepuluh besar”.
Menurutnya, penyebab kondisi seperti itu sebenarnya merupakan
persoalan klasik. Selain kenaikan tarif cukai, regulasi seputar konsumsi
rokok juga dipengaruhi pertumbuhan ekonomi.
”Sebagian besar perusahaan rokok yang bangkrut memproduksi sigaret
keretek tangan (SKT) yang merupakan usaha padat tenaga kerja,” paparnya.
Tahun depan, jumlah pekerja rokok yang kemungkinan akan dirumahkan
diperkirakan meningkat. Hassan menyebut jumlah yang terkena PHK dapat
mencapai 15 ribu orang.
Pihaknya berharap pemerintah tidak hanya mempertimbangkan aspek
penerimaan cukai saja terkait sederet regulasi yang dibuat pada sektor
rokok. Hal yang tidak kalah penting dikaji yakni banyaknya pekerja dan
keluarga buruh rokok khususnya dari pabrik golongan III, yang masih
tergantung dari produksi barang hisapan itu.
Kebijakan yang menepikan kepentingan pelaku usaha golongan ”gurem”
itu diyakini akan mengancam ratusan ribu dan bahkan jutaan pekerja rokok
pada sejumlah kantong produksi di tanah air. Pemerintah harus dapat
mengkaji ulang kebijakan percukaian yang ada saat sekarang. Hal itu
diperlukan sebagai upaya penyelamatan komponen pelaku usaha di sektor
rokok yang terengah-tengah mengikuti perkembangan regulasi yang ada.
”Jangan hanya memikirkan target saja,” ungkapnya.
Membendung
Dia memperkirakan sulit untuk membendung laju PHK rokok dalam waktu
singkat. Namun begitu, hal tersebut secara perlahan dapat dikurangi bila
pemerintah mempunyai komitmen untuk menyalamatkan industri rokok dalam
negeri. Diakui atau tidak, hingga saat sekarang sektor yang memberikan
kontribusi pemasukan cukai puluhan triliun rupiah tersebut belum
tergantikan. Artinya, ”mati”nya usaha rokok tidak hanya berdampak pada
sisi pemasukan negara tetapi juga dapat merembet ke persoalan sosial.
Disinggung soal wacana pengalihan usaha, dia tidak begitu sependapat.
Menurutnya, pengalihan usaha justru akan membuat usaha rokok khususnya
di level menengah dan kecil akan benar-benar hilang. Padahal, menurutnya
hal tersebut merupakan warisan budaya dan ekonomi yang sebenarnya cukup
potensial. ”Saya justru mengharapkan adanya upaya penguatan terhadap
mereka,” imbuhnya.
Salah satu bentuk penguatan dapat dilakukan dengan membuat kebijakan
yang dapat memberi keleluasan kepada produsen rokok, khususnya golongan
III atau yang berproduksi di bawah 300 juta batang per tahun. Regulasi
yang dimaksud harus menyentuh aspek produksi, konsumsi, distribusi,
iklan dan tarif yang lebih ”bersahabat” dengan mereka. Persoalan
mengenai kenaikan tarif cukai misalnya, diharapkan dapat naik maksimal 6
persen saja dan tidak 15 persen seperti kebijakan pemerintah saat
sekarang.(Sumber Suaramerdeka.com)