MEDAN - Ratusan massa buruh dan aparat kepolisian sempat memanas dan saling dorong-dorongan saat aksi unjuk rasa penolakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 8,03 persen dan PP 78 tahun 2015, di depan Kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro Medan, Selasa (6/11/2018) siang.
Aksi memanas tersebut terjadi saat Ketua Federasi Serikat Pekerja Industri (FSPI) Amin Basri meminta rekan-rekannya sesama buruh untuk maju selangkah. Akibatnya, polisi dan buruh terlibat saling dorong.
Ketua Bidang Konsolidasi SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) Sumut Erwin Manalu dari atas mobil komando meminta petugas kepolisian tak mengadang langka para pengunjuk rasa.
"Pakaian dinas kalian kami yang bayar. Gaji kami hanya naik senilai sebungkus lontong. Jangan halang-halangi, kami mau jumpa gubernur," kata Erwin.
"Kalau Sumut berdarah-darah berarti polisi yang memprovokasi. Bila perlu kita ke Jakarta sampaikan pada Kapolri. Tapi mari kita bicarakan baik-baik. Karena kalau memang buruh sudah sejahtera, tidak akan mau datang ke sini. Wahai Edy anda baru diangkat sebagai gubernur dan anda sendiri yang berambisi menjadi gubernur. Yang datang adalah rakyatmu," teriak Erwin.
Erwin menuding gubernur tidak gentleman karena tidak menemui ratusan buruh.
"Kalau anda (Edy Rahmayadi) terima hanya setengah jam, berbincang dari hati ke hati antara orang tua dan anak, tidak akan jadi begini," ucapnya.
Kalau anda gentle dan memang gubernur, keluar jumpai buruh Sumut. Jangan anda coba-coba menyepelekan, jangan anda coba-coba menempeleng. Jangan coba-coba anda mengatakan mau ngapain kalian kemari. Karena sebelum anda suruh berdoa, ini sudah berdoa setiap hari. Tapi hanya dapat sebungkus lontong," jelas Erwin lagi.
Koordinator aksi, Eben mengatakan, kenaikan UMP hanya sebesar harga Lontong tanpa telur.
"Analoginya, kenaikan UMP dihitung hanya Rp 6 ribu per hari. Itu kami ibaratkan seperti membeli lontong tanpa telur, karena uangnya tak cukup beli pakai telur," ujarnya kepada awak media.
Penetapan upah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan diduga telah melanggar Pasal 1 butir 30, Pasal 4 Huruf D, Pasal 88 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Pasal 89 dan 98 UU No 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
"Berdasarkan alasan-alasan di atas maka kami menyatakan sikap, Pertama, menolak penetapan upah yang dilakukan oleh pemerintah dengan formula kenaikan upah minimum berdasarkan rumus inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Kedua, menolak penetapan UMP tahun 2019 sebesar 8,03 persen. Cabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Meminta Gubernur Sumut untuk menyampaikan rekomendasi kepada Presiden untuk mencabut PP 78 tahun 2015, dan meminta agar struktur dan skala kenaikan upah menjadi wajib dilaksanakan terutama bagi pekerja yang memiliki masa kerja di atas 1 tahun," pungkas Eben.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar