Buruh Minta Kenaikan Upah 13% Di Tahun 2023, Begini Hitungannya - BURUH TODAY

Breaking

BURUH TODAY

www.buruhtoday.com


Post Top Ad

Selasa, 18 Oktober 2022

Buruh Minta Kenaikan Upah 13% Di Tahun 2023, Begini Hitungannya


JAKARTA - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Partai Buruh, Said Iqbal menegaskan kembali dua tuntutannya, salah satunya yakni menyangkut tuntutan upah minimum 2023 yang naik 13%.


Lebih lengkapnya, dalam kesempatan kali ini, Said menyebut adanya dua tuntutan, antara lain menuntut kenaikan upah minimum 13% pada 2023, serta yang kedua mendesak pemerintah dan pengusaha tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan dalih ancaman resesi global 2023.


"Partai Buruh dan KSPI meminta pemerintah untuk menetapkan upah 2023 gunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan, di mana dalam peraturan tersebut mengacu pada Omnibus Law Undang-Undang Cipta kerja yang sudah dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat dan cacat formil," kata Said dalam konferensi pers virtual, Senin (17/10/2022).


Oleh sebab itu, menurutnya tidaklah tepat apabila pemerintah masih menggunakan PP tersebut dalam menentukan upah minimum 2023 yang akan diumumkan pada 1 November mendatang. Apalagi, lanjut Said, kalau menggunakan batas atas dan batas bawah PP tersebut, pasti upah tidak akan naik, kalaupun naik hanya 1-2%.


Sedangkan menurut pengamatan Said dari Litbang Partai Buruh, inflasi turunan dari tiga sektor yang dikonsumsi rakyat mengalami kenaikan lebih dari inflasi umum yang berada di 6,5%. Oleh karena itu, angka kenaikan upah yang berpotensi hanya 1-2% tentu tidak sepadan.


"Partai Buruh dan KSPI menolak kenaikan upah minimum menggunakan PP Nomor 36 tahun 2021 yang naik hanya berkisar 1-2% karena tiga komponen, makanan minuman, transportasi dan biaya sewa rumah atau biaya kos, itu rata-rata berkisar 15%," katanya.


Di sisi lain, merujuk pada angka 13% yang masuk dalam tuntutan, Said pun menjelaskan dasar perhitungannya. Dasarnya adalah inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, di mana rumusan itu tertuang dalam PP 78 Tahun 2015.


Said pun membuat skema perhitungannya tidak menggunakan data inflasi dari perhitungannya yang mencapai 15%, melainkan dengan yang telah diumumkan oleh pemerintah, yakni bisa mencapai 6,5% di tahun ini.

"BPS mengumumkan inflasi September 2021 ke September 2022 berkisar sekitar 5,95%, inflasi umum bukan makanan. Dengan demikian berarti kalau kita hitung inflasi sampai Oktober. Kan kenaikan upah minimum itu September ke Oktober karena menghitung penetapan upah minimum itu 1 November. Maka kalau kita hitung dari September sampai Oktober itu akan tembus di atas 6%," katanya.


Said menjelaskan, nilai tersebut muncul dengan asumsi inflasi Oktober tidak jauh berbeda dengan September 2022 yang mencapai 1,17%. Dengan demikian, menurutnya minimal inflasi akan naik 1% sehingga kalau dijumlahkan berkemungkinan mencapai 6,5%.


Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi RI di kuartal II 5,4%. Said menyebut, dengan kenaikan harga BBM kemarin, daya beli masyarakat tentu akan menurun. Seperti kondisi daya beli buruh yang telah turun sebanyak 30%. Dengan demikian, merujuk pada data Litbang Partai Buruh, Said mengatakan angka pertumbuhan ekonomi bisa berkisar di 4,9-5,1%.


"Kalau kita pakai angka terendah, 4,9% adalah pertumbuhan pasca kenaikan BBM, ditambah 6,5% inflasi, maka akan didapat angka 11,4%. Dengan dasar 11,4% itulah ditambah alfa, alfa itu adalah nilai produktivitas, Partai Buruh dan KSPI mendesak pemerintah kenaikan upah buruh 2023 sebanyak 13%," jelasnya.


Dari sanalah, menurutnya kenaikan upah tersebut dirasa lebih sesuai dibandingkan dengan merujuk PP 36 Tahun 2021 yang bahkan bisa saja tidak akan ada kenaikan. Said juga turut memperingati para pengusaha yang terus berdalih dengan kondisi pandemi dan ancaman resesi global 2023.


"Ancaman resesi global tahun 2023 belum begitu mengancam Indonesia, mudah-mudahan tidak. Ukurannya sederhana, yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif. Bahkan pemerintah Indonesia optimis bahwa pertumbuhan ekonomi masih di atas 4%," tegasnya.


Sumber artikel finance.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar