En Jacob Ereste : Menjaga Etika Berbangsa dan Bernegara Untuk Rakyat - BURUH TODAY

Breaking

BURUH TODAY

www.buruhtoday.com


Post Top Ad

Sabtu, 24 Oktober 2015

En Jacob Ereste : Menjaga Etika Berbangsa dan Bernegara Untuk Rakyat


Alangkah malangnya nasib rakyat yang hidup di negeri maling. Hingga aparat pemerintahnya terkesan sibuk dan senantiasa selalu gaduh mempersoalkan ikhwal maling yang muncul dan tapil di mana-mana. Tidak cuma di pusat pemerintahan, tetapi juga di daerah-daerah merata di seleruh seantero jagat negeri kita.

Masalahnya kemudian lebih memprihatinkan, pekerjaan menangkao maling itu seilah-olah merupakan pekerjaan pokok yang harus dilakukan  pemerintah sepanjang masa kekuasaanya. Sehingga pekerjaan lain -- yang sesungguhnya lebih pokok, utamanya ikut menata kehuidupan rakyat yang lebih baik dan lebih sejahtera --menjadi terabaikan.


Itulah asal muasal kesengsaraan rakyat yang semakin menjadi-jadi dan semakin mendera, sehingga rakyat sendiri sulit melepaskan dirinya dari kungkungan kemiskinan dan kebodohan yang selalu dibarengi oleh ketidakadilan. Inti masalah pokok inilah yang hendak dienyahkan oleh seorang HOS. Tjokroaminoto pada seabad silam  antara Juni 1916 di Bandung -- yang menggagas zelfbestuur. 


Kemiskinan pada dasarnya merupakan bagian dari hambatan menuju kecerdasan, dan kecerdasan menjadi penghambat untuk menikmati keadilan. Karenanya betapa malangnya rakyat yang hidup di negeri kaya raya, tetapi hidup dan penghidupannya tetap miskin seperti realitas yang terjadi pada hari ini di negeri ini.


Akibat kemiskinan yang terus mendera warga masyarakat, maka sulit diharap bisa muncul dan tampil sosok-sosok yang cerdas dan trampil untuk lebih mampu menikmati keadilan yang sepatutnya dimiliki dan dirasakan oleh setiap orang yang telah menyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak dari semua bangsa, dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.


Begitulah, betapa sial dan malangnya warga bangsa yang ada di negeri ini, justru sedang di dera oleh penjajahan dalam bentuk terselubung atau bahkan secara terang-terangan  melalui beragam bentuk kegiatan ekonomi, politik bahkan budaya. 


Karenanya apa yang diharap para founding fathers agar manusia Indonesia bisa mewujudkan kemandirian dakam bidang ekonomi, bebas dalam arti politik dan berkepribadian dalam mengekpsresikan adat dan budayanya masing-masing, sekarang seperti ironi dari sebuah tragedi yang sangat mengerikan.


Kemalangan akibat tatanan sistem dan tata kelola yang buruk jelas, dibuat dan dilakukan untuk kepentingan menangguk keuntungan oleh pihak-pihak tertentu tanpa hirau pada kerugian yang mendera orang banyak. Sementara kemalangan yang terkait dengan bencana alam, jelas terlihat tidak mampu diantisipasi jauh sebelum terjadi. Padahal gejalanya sudah dapat tampak  sebelumnya, karena sudah berulang kali terjadi seperti banjir dan kabut asap akibat kebakaran hutan maupun lahan gambut.


Masalahnya, sungguhkah pemahaman terhadap perilaku keledai yang selalu mengalami kemalangan serupa dapat dipahami sebagai suatu kebebalan yang sesungguhnya, atau memang telah menjadi skenerio untuk dimainkan agar  drama tragedi dapat ditampilkan sehingga kita bisa tampil sebagai pahlawan dipentas panggung sandiwara ?.


Sungguh miris dan menyedihkan menonton kebohongan dan kemunafikan yang berlangsung setiap hari dari kegaduhan yang tidak jelas juntrungannya bagi rakyat banyak, apalagi kemudian dalam babak itu semua selalu diakhiri oleh penangkapan beragam bentuk kejahatan yang dilakukan. Entah oleh siapa saja tidak kecuali dari kalangan aparat yang bekerja pada instansi keagamaan, sehingga sangat melukai hati rakyat yang semakin putus kepercayaannya, baik terhadap siapa saja yang berada dibilik eksekutif, legislatif maupun eksekutif.


Pertanyaan Karto Glinding dalam diskusi informal kami di Banten pekan kemarin sungguh menghentak, kemana  rakyat seperti kami harus mengadu atau meminta perlindungan, tatkala harus menghadapi keculasan aparat maupun oknum yang culas seperti itu ? Jawabannya, karena selama ini tidak pernah ada yang mampu menjelaskannya. Maka Karto Glinding menyimpulkan sendiri bahwa sesungguhnya jawaban dari pertanyaan serupa itu harus dijawab sendiri oleh rakyat, sesuai dengan selera dan suka citanya, persis sebagaimana mereka bebas melakukan keculasan yang merugikan rakyat banyak.


Oleh karena itu, sejak kesimpulan yang dia peroleh. Karyo Glinding dan kawan-kawan di berbagai daerah dan tempat melakukan konsolidasi mulai dari penyadaran, pemberdayaan menuju pembebasan baris segenap bentuk penjajahan dan penzaliman yang dilakukan oleh instansi, lembaga, kelompok serta perorangan yang acap diklaim sebagai oknum dari instansi pemerintah atau pihak swasta. 


Dakam konteks ini pun Karto Glinding dan kawan-kawan telah mempunyai kesimpulan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu bukan sungguh mahal dan harus diperjuangkan tanpa pernah membayangkan akan diberi secara cuma-cuma, terutama yang semakin marak dilakukan oleh rezim rakus dan culas.


Lain ceritanya, bila sebagai kaum pergerakan pun sudah mau seperti mereka. Tak tahu malu, dan tidak lagi mepunyai harga diri. "Habis tertangkap tangan misalnya oleh KPK, masih bisa tertawa-tawa di depan kamera televisi atau jepretan foto wartawan". kata Karti Glinding ***